Kamis, 12 Juli 2012

evaluasi dan supervisi


TUGAS MAKALAH
(PERBAIKAN)
EVALUASI dan SUPERVISI

EVALUASI DAN SUPERVISI
BIROKRASI, KEBIJAKAN DAN SISTEM PENDIDIKAN

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Mukthar, M. Pd
 



Oleh  :

R I N I
Nim : P.p.211.1.1388
Teknologi Pendidikan Islam (TPI)





PROGRAM PASCA SARJANA
IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2012
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, bahwa atas ridho dan karunia-Nya lah , maka sayai masih dapat menyelesaikan tugas-tugas menyusun Makalah dalam rangka tugas harian evalusi dan supervisi, meskipun di tengah-tengan kesibukan dan dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini dikarenakan kami merasa mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sebagai mahasiswa program pascasarjana sekaligus akan melatih diri kami dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran guna membangun pengetahuan mengenai evaluasi, birokrsi, kebijakan dan system pendidikan yang berjalan saat ini.
Tentu saja dengan terbatasnya pengetahuan yang dimiliki oleh penulis ditambah sempitnya waktu yang diberikan kepada penulis, tulisan ini masih jauh dari sempurna, lNamun walaupun demikian penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. .Kritik dan saran yang bermasud membangun, apa lagi mengembangkan pemikiran ini, kiranya masih terbuka bagi siapa saja. Betapa kecilnya bantuan yang diberikan namun apabila disertai niat yang baik, akan terasa besar juga manfaatnya.
                    
Semoga bermanfaat..
















DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii

BAB  I            PENDAHULUAN

                        A. Latar Belakang .......................................................  1

                        B. Rumusan Masalah................................................................. 5
                        C.Tujuan Penulisan.................................................................... 5
                        D. Manfaat Penulisan................................................................ 6
                       

BAB  II           PEMBAHASAN

                        A. Defenisi- Defenisi................................................................ 7
                              1. Pengertian Supervisi Pendidikan .............................. 7
                              2.Pengertian Evaluasi Pendidikan................................. 11
                              3.Pengertian Birokrasi Pendidikan................................. 13
                              4. Pengertian Kebijakan Pendidikan.............................. 16
                              5. Pengertian system Pendidikan................................... 18
                        B. Evaluasi dan Supervisi Lembaga Pendidikan............... 19
                              1. Birokrasi Lembaga Pendidikan................................... 19 
                              2. Elemen-Elemen Birokrasi Sekolah............................   20
                              3. Kepala Sekolah sebagai Birokrasi.............................. 24
                              4. Kebijakan Sekolah......................................................... 26
                              5. Analisis Kebijakan Pendidikan .................................. 28
                              6. Sistem Pendidikan......................................................... 29
                              7. Proses Pendidikan dalam Sistem Pendidikan......... 32

BAB III        PENUTUP
                     A. Kesimpulan................................................................................ 35
                     B. Saran.......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA

EVALUASI DAN SUPERVISI
BIROKRASI, KEBIJAKAN DAN SISTEM PENDIDIKAN
Oleh. RINI

BAB I
PENDAHULUAN



A.     Latar Belakang
Kajian yang dilakukan oleh Depdiknas, Bapenas, dan  Bank Dunia (1999) mengemukakan bahwa guru merupakan kunci penting dalam keberhasilan memperbaiki mutu pendidikan. Masalah mutu pendidikan pada esensinya menyangkut masalah kualitas mengajar yang dilakukan oleh guru. Melalui supervisi, para guru sebagai pelaku utama dalam penyelenggaraan sistem pendidikan dapat dibantu pertumbuhan dan dan  perkembangan profesinya bagi pencapaian tujuan pembelajaran.
Dalam Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1, diungkapkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (UU RI No 20 Tahun 2003).[1]
Tugas pengawas sekolah/madrasah diantaranya melaksanakan pembinaan dan penilaian teknik dan administratif pendidikan terhadap sekolah yang menjadi tanggungjawabnya. Tugas ini dilakukan melalui pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Supervisi oleh pengawas sekolah meliputi supervisi akademik yang berhubungan dengan aspek pelaksanaan proses pembelajaran, dan supervisi manajerial yang berhubungan dengan aspek pengelolaan dan administrasi sekolah.
Supervisi akademik dapat dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, dan guru yang ditugasi oleh kepala sekolah untuk melakukan tugas sebagai penyelia. Dan untuk membantu para penyelia melaksanakan supervisi akademik yang terprogram, terarah, dan berkesinambungan, APSI Pusat telah mengembangkan Instrumen Supervisi (IS) Akademik. Format IS Akademik ini meliputi tiga bagian yang digunakan sebelum pengamatan (Pra observasi), selama pengamatan (observasi) dan setelah pengamatan pembelajaran (Pasca observasi).
Dengan mengacu instrumen supervisi akademik ini, diiharapkan penyelia dapat melaksanakan supervisi akademik secara klinis melalui pendekatan kemitraan (collegial) dengan siklus perencanaan yang sistematis, pengamatan yang cermat, dan umpan balik yang objektif dan segera, untuk memberikan bantuan teknis kepada guru dalam melaksanakan pembelajaran yang efektif, efisien dan berkualitas. Kata kunci dalam supervisi pengajaran (akademik) bukanlah pengawasan, namun bantuan pada guru untuk meningkatkan pembelajaran.
Pentingnya pelaksanaan supervisi akademik untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui proses pembelajaran yang baik  serta membantu guru dan kepala sekolah menciptakan lulusan yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu, kegiatan supervisi ini hendaknya rutin dilaksanakan di sekolah sebagai salah satu kegiatan yang dipandang positif dalam meningkatkan proses pembelajaran. Apabila konsep-konsep ideal tersebut dilaksanakan, maka dapat diharapkan kualitas pendidikan akan meningkat secara signifikan.
Supervisi (akademik) merupakan kegiatan pembinaan yang direncanakan dengan memberi bantuan teknis kepada guru dan pegawai lainnya dalam melaksanakan proses pembelajaran, atau mendukung proses pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara efektif. Supervisi akademik sebaiknya dilakukan dengan pendekatan supervisi klinis yang dilaksanakan secara berkesinambungan melalui tahapan pra-observasi, observasi pembelajaran, dan pasca observasi.
Idealita supervisi akademik tersebut, praktiknya di lapangan selama ini masih jauh dari harapan. Berbagai kendala baik yang disebabkan oleh aspek struktur birokrasi yang rancu, maupun kultur kerja dan interaksi supervisor dengan guru yang kurang mendukung, telah mendistorsi nilai ideal supervisi pengajaran di sekolah-sekolah. Apa yang selama ini dilaksanakan oleh para Pengawas pendidikan, belum bergeser dari nama jabatan itu sendiri, yaitu sekedar mengawasi.
Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Namun, yang saat ini terjadi justru sebaliknya. Birokrasi Indonesia—sebut saja sekitar 3,6 juta pegawai negeri di luar polisi dan militer—justru menjadi beban negara. Sampai-sampai pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan zero growth untuk mengurangi kemubaziran tenaga pemerintah di instansi-instansi sipil.
Mengapa birokrasi kita tak mampu menjadi sebuah kekuatan pengubah? Bisa jadi karena pemerintah memang tak memiliki visi kepemimpinan maupun grand design untuk melakukan reformasi. Belum lagi struktur kepegawaian sipil di Indonesia begitu “gemuk”. Terdiri dari lima eselon (tertinggi eselon 1), empat golongan (tertinggi golongan IV), Begitu juga birokrasi dalam pendidikan belum mampu memberikan konstribusi yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan.
Asumsi Dasar Dalam dunia pendidikan, sebuah organisasi sangat diperlukan dalam rangka memperlancar fungsi dan proses pendidikan. Dalam menjalankan fungsi organisasi pendidikan tidaklah dapat dipisahkan dengan birokrasi. Pada dasarnya, birokrasi ini hakikatnya adalah salah satu perangkat yang fungsinya untuk memudahkan pelayanan publik. Birokrasi digunakan untuk dapat membantu mempermudah dalam memberikan layanan pendidikan yang pasti akan mempengaruhi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Birokrasi merupakan instrumen pembangunan pendidikan. Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Jika birokrasi dijalankan dengan benar, konsisten dan bertanggungjawab, maka kualitas pendidikan akan maju. Singapura, Hongkong, Malaysia dan Thailand merupakan contoh nyata negara yang menerapkan birokrasi dengan baik, sehingga pendidikan mereka mempunyai kualitas lebih baik dikarenakan birokrasinya yang profesional, tegas dan efisien.
Pembakuan dan perbaikan  kurikulum nasional sebagai salah satu upaya pengembangan satu system nasional yang mantap dan terpadu dilakukan berlandasan masukan yang diperoleh dari kegiatan evaluasi kurikulum, uji coba pengembangan kurikulum dan pengalaman lapangan. Masukan itu merupakan umpan balik untuk menyelaraskan kurikulum dengan tuntutan masyarakat, kemajuan pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan dan tanda-tanda zaman.
Pembangunan sistem pendidikan harus mampu memberikan arti fungsional bagi pembangunan nasional dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Tuntutan yang paling mendesak dalam memacu pembangunan pendidikan yang bermutu dan relevan ialah peningkatan kemampuan dalam melakukan analisis kebijakan.  Para analisis kebijakan dalam bidang pendidikan tidak hanya dituntut untuk menguasai teknik-teknik penelitian dan pengembangan, tetapi juga dituntut untuk menguasai isu isu pendidikan yang relevan, baik itu pendidikan secara internal maupun isu-isu pendidikan dalam kaitannya secara lintas sektoral.
Isu-isu pendidikan secara internal akan meliputi sistem pendidikan berikut komponen-komponennya yang integral, seperti pendidikan dasar (berfungsi menanamkan kemampuan dasar), pendidikan menengah baik pendidikan umum maupun pendidikan sebagai persiapan kerja, pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan professional, pendidikan luar sekolah, serta komponen-komponen penunjang sistem pendidikan. Isu-isu pendidikan secara eksternal, yang juga sangat penting untuk terus dikaji oleh para analisis kebijakan, menyangkut keterkaitan yang integral antara pendidikan dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, dan ketenaga kerjaan, lingkungan hidup, serta kehidupan sosial budaya.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Evaluasi, Supervisi, Birokrasi, Kebijakan dan Sistem Pendidikan?
2.   Bagaimana bentuk Birokrasi, Kebijakan dan Sistem  Pendidikan di Indonesia?
3.   Apa saja yang termasuk pada bagian Elemen-Elemen Birokrasi      Sekolah?
4.   Bagaimana analisis kebijakan pendidikan Indonesia ?
5.   Bagaimana Proses Pendidikan dalam Sistem Pendidikan?
6.   solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “ Evaluasi dan Supervisi Birokrasi, Kebijakan dan Sistem Pendidikan”

C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan makna dari Evaluasi, Supervisi, Birokrasi, Kebijakan dan Sistem Pendidikan?
2.   Mendeskripsikan bentuk Birokrasi, Kebijakan dan Sistem  Pendidikan di Indonesia?
3.   Mendeskripsikan bagian-bagian yang ada pada  Elemen-Elemen   Birokrasi Sekolah?
4.   Menganalisis kebijakan pendidikan Indonesia ?
5.   Mendeskripsikan Proses Pendidikan dalam Sistem Pendidikan?
6.   Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai pandangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang sedang berjalan di Indonesia.
2. Bagi Guru
Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.

3. Bagi Mahasiswa
Agar dapat dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah pada umumnya dan khususnya birokrasi dibidang pendidikan.

















BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFENISI-DEFENISI
1. Pengertian Supervisi Pendidikan
Supervisi adalah suatu usaha atau kegiatan pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah atau lembaga pendidikan lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif dan efisien. Berbagai macam usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan berkaitan dengan supervisi, antara lain pertemuan kelompok, pembicaraan perorangan, kunjungan kelas, ceramah, lokakarya, demonstrasi tentang teknik-teknik dan metode-metode mengajar yang baru, penilaian yang dilakukan secara sistematis, dan pertukaran pengalaman serta pikiran-pikiran baru. Semua ini bermaksud untuk membimbing guru, dalam meningkatkan kesanggupan dan memperluas pandangan mereka.[2]
Supervisi dalam hal ini mempunyai pengertian yang luas, yakni segala macam bentuk bantuan dari para pimpinan sekolah yang tertuju kepada perkembangan kepemimpinan guru-guru dan para pegawai sekolah lainnya di dalam mencapai tujuantujuan pendidikan. Bantuan tersebut berupa bimbingan, dorongan, dan kesempatan bagi pertumbuhan keahlian dan kecakapan guru-guru. Sebagai contoh, misalnya bimbingan dalam usaha dan pelaksanaan pembaharuan dalam pendidikan dan pengajaran, pemilihan alat-alat pelajaran dan metode-metode mengajar yang baik terhadap fase dari seluruh proses pengajaran.[3]
Supervisi sebagai suatu bentuk pengawasan langsung biasanya dilakukan secara berhadap-hadapan antara pengawas dan para guru. Supervisi termasuk kewajiban terpokok dalam administrasi dan merupakan pusat perhatian bagi perkembangan para siswa dan perbaikan pengajaran dengan segala aspek-aspeknya.
Sesungguhnya para guru itu memiliki potensi yang lebih besar daripada yang mereka perlihatkan. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang lazimnya merintangi para guru dalam mempergunakan potensinya atau daya kemampuannya secara maksimal, antara lain :
a.    Kekurangan pandangan dan tidak jelasnya sasaran pekerjaan
b.    Pengalaman pada waktu sebelumnya yang lebih bersifat tradisional
c.    Tekanan-tekanan dari masyarakat atau lingkungannya
d.    Kekurangan dalam penyelarasan diri dengan lingkungan kemanusiaan
e.    Ketidakmampuan untuk menilai tugas dan pekerjaannya sendiri, dan adanya

Administrasi perorangan yang kurang baik.Oleh sebab itu supervisi ini dimaksudkan untuk membimbing para guru alam meningkatkan kesanggupan dan kecakapan serta memperluas pandangan mereka. Jika para guru belajar, tumbuh dan bertambah cakap, maka para siswa juga akan belajar dan tumbuh lebih baik lagi.
Istilah supervisi berasal dari bahasa Inggris ialah supervision, yang artinya pengawasan atau pengendalian. Supervisi adalah kata benda, berasal dari kata to supervise atau to oversee in order to direct, terjemahannya mengawasi atau mengendalikan. Di Amerika, supervise yang dimaksud ialah suatu usaha atau kegiatan yang hanya berurusan dengan inspeksi atau pemeriksaan.
Dengan demikian supervisi hanya berpusat pada pemeriksaan saja, khususnya terhadap guru. Selanjutnya terjadi perkembangan tentang maksud supervisi ialah suatu usaha atau kegiatan yang ditujukan untuk memperbaiki cara mengajar. Berdasarkan pandangan Burton, supervisi adalah suatu usaha untuk memperbaiki cara mengajar dan membantu guru dalam cara mengajar. Dengan demikian juga bermaksud untuk membimbing perkembangan para siswa.[4]
Perkembangan berikutnya, apa yang dimaksud dengan supervisi adalah suatu fungsi yang tidak hanya ditujukan kepada para guru saja, tetapi terutama diarahkan kepada masalah belajar-mengajar dan perkembangannya. Bagaimana cara siswa belajar dan para guru mengajar serta mengembangkannya.
Dewasa ini pengertian supervisi dalam kaitannya dengan kegiatan pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang berkepentingan dengan segala sesuatu yang memajukan perkembangan para guru dan para siswa. Pertumbuhan para siswa inilah yang menjadi tujuan utama dari seluruh proses pendidikan.[5]
Fungsi supervisi ialah memberi petunjuk, mendorong, menjelaskan, membimbing, dan membantu meningkatkan situasi belajar, serta membantu para guru agar ia mengajar lebih baik. Jadi supervisi adalah suatu proses yang merupakan bagian dari proses pendidikan, juga sebagai proses sosial yang demokratis, yang fungsi utamanya ialah kepemimpinan.
Adapun peranan supervisi dalam kegiatan pendidikan, antara lain dapat diuraikan sebagai berikut :
a.     Supervisi Sebagai Program Berencana Untuk Memajukan Pengajaran
Perencanaan dalam supervisi penting sekali, sebab menyangkut banyak kegiatan yang berpangkal pada keperluan-keperluan situasi yang berkaitan dengan banyak orang yaitu para siswa, orang tua siswa, para guru, para pimpinan sekolah, para pengawas, dan mereka yang berkepentingan dengan sekolah. Mereka ikut menentukan secara koperatif fungsi-fungsi dan kegiatan-kegiatan supervisor, yang bertanggungjawab terhadap tugas-tugas supervisi.[6]

b.     Supervisi Sebagai Inspeksi
Supervisi menurut gagasan administrasi otokratis, berarti inspeksi, yaitu suatu kegiatan mencari kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan, apakah perintah-perintah atau peraturan-peraturan itu ditaati. Sesuai dengan tujuannya, pada suatu kunjungan sekolah misalnya, bila pemeriksaan yang dilakukan secara formal selesai, inspektur mengatakan kepada kepala sekolah atau guru kelas apa yang salah dan apa yang harus dikerjakan. Kelalaian diancam dengan hukuman-hukuman administratif.
 Dalam hal ini sedikit sekali pertimbangan diarahkan terhadap kepentingan-kepentingan khas dan minat siswa yang sedang belajar. Kegagalan anak atau siswa dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Inspeksi bukanlah suatu pengawasan yang berusaha menolong para guru untuk mengembangkan dan memperbaiki cara dan daya kerja sebagai pendidik dan pengajar. Inspeksi dijalankan terutama untuk mengawasi bawahan apakah telah menjalankan apa-apa yang sudah diinstruksikan, dan sampai di manakah para guru melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh atasannya.

c.      Supervisi Sebagai Kepemimpinan Yang Koperatif
Tugas utama supervisi dalam administrasi pendidikan yang demokratis bukanlah membuat konduite guru, melainkan membantu para guru untuk memajukan proses belajar-mengajar. Supervisi yang dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana membantu para guru untuk mengembangkan dan menggunakan potensi sepenuhpenuhnya. Sehubungan dengan itu, supervisi diharapkan mampu menyediakan bermacam-macam kepemimpinan yang mampu meningkatkan efisiensi dan dayaguna usaha dan program dari usaha sekolah secara keseluruhan serta untuk menambah atau memperkaya lingkungan semua guru. Hal ini meliputi usaha-usaha untuk membangun semangat para karyawan, menciptakan kondisi-kondisi bekerja yang menyenangkan, mendorong inisiatif dan daya cipta, menyediakan kesempatan-kesempatan agar para guru dapat bekerja sama dalam memikirkan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh mereka dan sekolah.
Para guru diikut sertakan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan administratif, dalam menentukan langkah-langkah untuk tercapainya berbagai tujuan, menilai program sekolah, dan dalam segala usaha perubahan dan perbaikan program yang didasarkan atas penilaian yang obyektif dan koperatif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa supervisi diharapkan mampu menyediakan jenis kepemimpinan yang dapat mengembangkan sifat-sifat kepemimpinan pada orang lain.[7]

2. Pengertian Evaluasi Pendidikan
Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Kata tersebut diserap kedalam perbendaharan istilahbahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi “evaluasi’’ berarti “penilaian” merupakan kata benda dari “nilai” [8].  Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation; dalam bahasa Arab; al-taqdir; dalam bahasa Indonesia berarti; penilaian. Akar katanya adalah value; dalam bahasa Arab; al-qimah; dalam bahasa Indonesia berarti; nilai.
Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan Hasan Shadily: 1983). Menurut Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai the process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatives," Artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan.
Sedangkan, Rooijackers Ad mendefinisikan evaluasi sebagai "setiap usaha atau proses dalam menentukan nilai". Secara khusus evaluasi atau penilaian juga diartikan sebagai proses pemberian nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan. Dan menurut Anne Anastasi (1978) mengartikan evaluasi sebagai "a systematic process of determining the extent to which instructional objective are achieved by pupils". Evaluasi bukan sekadar menilai suatu aktivitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik, dan terarah berdasarkan tuiuan yang jelas.
Evaluasi berkaitan erat dengan pengukuran dan penilaian yang pada umumnya diartikan tidak berbeda (indifferent), walaupun pada hakekatnya berbeda satu dengan yang lain. Pengukuran (measurement) adalah proses membandingkan sesuatu melalui suatu kriteria baku (meter, kilogram, takaran dan sebagainya), pengukuran bersifat kuantitatif. Penilaian adalah suatu proses transformasi dari hasil pengukuran menjadi suatu nilai. Evaluasi meliputi kedua langkah di atas yakni mengukur dan menilai yang digunakan dalam rangka pengambilan keputusan.
Evaluasi pendidikan memberikan manfaat baik bagi siswa/peserta pendidikan, pengajar maupun manajemen. Dengan adanya evaluasi, peserta didik dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan yang telah digapai selama mengikuti pendidikan. Pada kondisi dimana siswa mendapatkan nilai yang mernuaskan maka akan memberikan dampak berupa suatu stimulus, motivator agar siswa dapat lebih meningkatkan prestasi. Pada kondisi dimana hasil yang dicapai tidlak mernuaskan maka siswa akan berusaha memperbaiki kegiatan belajar, namun demikian sangat diperlukan pemberian stimulus positif dari guru/pengajar agar siswa tidak putus asa. Dari sisi pendidik, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai umpan balik untuk menetapkan upaya upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
Pada dasarnya evaluasi memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.    Kejelasan tujuan yang akan dicapai dalam suatu kegiatan evaluasi
b.    Memerlukan adanya kriteria pengukuran
c.    Melibatkan pihak yang betul-betul memahami tentang konsep dasar pendidikan secara komprehensif
d.    Menuntut umpan balik dan tindak lanjut, sehingga hasil evaluasi dapat digunakan untuk membuat kebijakan putusan. Keputusan itu sendiri dapat berkenaan dengan:
1.    Personel yang terlibat, mencakup kemampuan pengertian atau penambahan tenaga.
2.    Jenis kegiatan dan pelaksanaannya.
3.    Prioritas kegiatan dan subjek yang dilayani.
4.    Pembiayaan, waktu dan fasilitas lainnya.
5.    Kegiatan evaluasi bukan merupakan kegiatan yang bersifat insidental, tetapi merupakan proses kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan.

Implementasi Evaluasi Pendidikan :
a.    Terbukanya kemungkinan bagi evaluator guna memperoleh informasi tentang hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pelaksanaan program pendidikan.
b.    Terbukanya kemungkinan untuk dapat diketahuinya relevansi antara program pendidikan yang telah dirumuskan, dengan tujuan yang hendak dicapai.
c.    Terbukanya kemungkinan untuk dapat dilakukannya usaha perbaikan, penyesuaian dan penyempurnaan program pendidikan yang dipandang lebih berdaya guna dan berhasil guna, sehingga tujuan yang dicita-citakan, akan dapat dicapai dengan hasil yang sebaik-baiknya.

3. Pengertian Birokrasi Pendidikan
Menurut Martin Albrow, istilah birokrasi berasal dari kata biro yang berarti meja tulis, yang diartikan sebagai tempat  para pejabat bekerja. Dengan sisipan kata Yunani rule yang berarti aturan, terjadilah kata burokratie yang diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi birokrasi.[9]
Birokrasi berasal dari bahasa Prancis “bureau” yang berarti meja. Pengertian meja ini berkembang menjadi kekuasaan yang diwenangkan kepada meja kantor. Dalam kamus bahasa Indonesia, birokrasi mempunyai 3 (tiga) arti (1) pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat (2) cara pemerintahan yang dikuasai oleh pegawai negeri (3) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lambat (WJS. Purwadaminta, 2007:164)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa birokrasi selalu identik dengan pegawai negeri yang kerjanya lamban, bertele-tele dan berliku-liku dalam memberikan layanan.
Sementara itu birokrasi menurut Weber memiliki 6 pokok:
a.    Dalam organisasi ada pembagian tugas dan spesialisasi
b.    Hubungan dalam organisasi bersifat impersonal
c.     Dalam organisasi ada hiearki wewenang, dimana yang rendah patuh kepada perintah yang lebih tinggi.
d.    Administrasi selalu dilaksananakan dengan dokumen tertulis.
e.    Orientasi pengembangan pegawai adalah pengembangan karir yang berarti keahlian merupakan ktiteria utama yang diterima atau ditolaknya seseorang sebagai suatu organisasi dan berlaku pula untuk mempromosikannnya.
f.     Untuk mendapatkan efisiensi maksimal, setiap tindakan yang diambil harus selalu dikaitkan dengan besarnya sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi,
Selanjutnya dari enam pokok tersebut diatas, Weber membagi birokrasi dalam 2 tipe:
1.    Organisasi karismatik, organisasi yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang memiliki pengaruh pribadi yang sangat besar bagi anggotanya.
2.    Organisasi tradisional, organisasi yang pemimpinnya diangkat berdasarkan warisan.
Dalam mengambil keputusan, Weber berpendapat bahwa keputusan yang diambil harus menghindari penggunaan emosi dan perasaan suka atau tidak suka. Birokrasi menurutnya adalah usaha untuk menghilangkan tradisi organisasi yang membuat keputusan secara emosional atau berdasarkan ikatan kekeluargaan yang dapat menyebabkan organisasi tidak efektif dan efisien serta tidak sehat.
Sekolah merupakan salah satu lembaga birokrasi pendidikan dan nampaknya masih tidak steril terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pendidikan. Misalnya tentang masih adanya fakta bahwa ada gaji guru yang dipotong dibeberapa daerah, kenaikan golongan yang butuh uang pelican, yang secara jujur dikatakan bahwa hal ini justeru akan mengakibatkan semakin terpuruknya kondisi guru dan adanya beban yang masih harus ditanggung oleh guru tersebut. Misalya masih banyaknya guru yang dibebani dengan berbagai macam pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.[10]
Sementara disisi lainseorang guru harus menunjukkan kinerja yang baik walaupun kesejahteraanya tidak diperhatikan. Dalam keadaan itu bagaimana mungkin guru akan dapat mendidik mahasiswa dengan tenang, sementara ia masih memikirkan cara untuk meningkatkan penghasilanya.[11]
Dinamika dan karakteristik birokrasi lembaga pendidikan terkadang menimbulkan sejumlah masalah. Adanya hierarki juga timbul didalamnya yaitu ada atasan dan ada bawahan, yang maing-masing memiliki tugas dan tanggungjawab sendiri. Kenyataanya kepercayaan akan sulit dibangun dalam hubungan antara persoalan dan lembaga pendidikan tersebut.[12]

4. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijaksanaan pendidikan nasional telah dirumuskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara sebagai pola umum pembangunan nasional mengarahkan rangkaian program pembangunan di segala bidang untuk mewujudkan tujuan nasional seperti tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Khusus mengenai pendidikan nasional dinyatakan.
“Pendidikan nasional berdasarkan pancasila, bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusiamanusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersamasama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.
Berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara itu jelaslah bahwa peserta didik pada khususnya dan generasi muda pada umumnya harus diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan sejarah perjuangan bangsa dalam rangka pendidikan pancasila dari masa sebelum kemerdekaan sampai dengan masa perjuangan
menegakkan, mempertahankan, membela dan mengisi kemerdekaan. Karena itu, menjadi tugas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk merencanakan,mengembangkan dan melaksanakan pendidikan sejarah perjuangan bangsa sebagai bagian terpadu dari system kurikulum nasional.
Pelaksanaan kebijaksanaan itu bertujuan menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Manusia- manusia pembangunan yang dihasilkan diharapkan berperan mewujudkan tujuan nasional yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Butir-butir pemikiran dalam kebijaksanaan pendidikan nasional mengandung amanat dan makna bahwa kurikulum sebagai salah satu wahana utama pencapaian
Kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tesebut.Ada dua buah penggunaan yang luas dari istilah kebijakan ini yang pertama sebagai pengganti kata atau ungkapan pendek dimana pengertian umum sering diasumsikan dan yang kedua adalah sebagai seperangkat ciri-ciri yang dikhususkan dan diidentifikasi melalui riset. Analisis kebijakan merupakan suatu prosedur berpikir yang sudah lama
dikenal dan dilakukan dalam sejarah manusia, paling tidak sejak manusia mampu melahirkan dan memelihara pengetahuan dalam kitannya dengan tindakan.Dengan demikian kebijakan dalam pendidikan yaitu keputusan yang tetap dalam pendidikan yang dicirikan oleh konsistensi dan perubahan tingkah laku yang membuat patuh terhadap keputusan dalam pendidikan tersebut..
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan dipandang sebagai: (1) pedoman untuk bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil keputusan (Pongtuluran, 1995:7).
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.



5. Pengertian Sistem Pendidikan
Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang masing-masing bekerja sendiri sesuai dengan fungsinya dansaling berkaitan dengan fungsi dari komponen lain yang secara terpadubergerak menuju ke arah satu tujuan yang telah ditetapkan. Jadi komponenyang bertugas sesuai dengan fungsinya bekerjasama dengan yang lainnyadalam satu rangkaian sistem secara terpadu bergerak ke arah tujuan sistem itusendiri.
Menurut Imam Barnadib: sistem suatu himpunan gagasan atauprinsip-prinsip yang saling berpautan, dan bergabung menjadi satukeseluruhan.Dalam pembahasan ini pengertian sistem didasarkan pada definisibahwa sistem merupakan suatu perangkat atau mekanisme yang terdiri daribagian-bagian di mana satu sama lainnya saling berhubungan dan saling memperkuat. Sedangkan kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani "Pedagogi" yaitu kata "paid" artinya "anak" sedangkan "agogos" yang artinyamembimbing sehingga "pedagogi" dapat diartikan sebagai "ilmu dan senimengajar anak.".
Pengertian sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) yaitu suatu kesatuan yang terdiri dari atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat (Darmoyo, 2008). Pengertian sistem pendidikan adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam pendidikan Islam Sistem pendidikan Islam dapat diartikan  suatu kesatuan komponen yang terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama untuk mencapai tujuan sesuai dengan ajaran Islam. Mengacu pada pengertian sistem tersebut dalam kurikulum Kementrian Agama terdapat penambahan beban belajar bagi  siswa dengan adanya muatan pendidikan Islam yang lebih dari lembaga pendidikan yang bernaung pada Kementrian Pendidikan Nasional.
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasanabelajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktifmengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritualkeagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dannegara. Dari pengertian di atas maka yang dimaksud sistem pendidikanadalah: Sistem pendidikan berarti keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan

B. Evaluasi dan Supervisi Lembaga Pendidikan
1. Birokrasi Lembaga Pendidikan
Banyak persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan segera menjadi berlarut-larut karna rumitnya birokrasi contoh kasus tentang usulan perbaikan dan perawatan sarana dan prasarana serta perlengkapan ¬pendidikan yang diajukan oleh sekolah kepada pemerintah bahkan diajuka¬n setiap tahun, namun tidak ada respon dan penyelesaian yang memadai dari birokrasi pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten/kota maupun pemerintah pusat.
Rendahnya biaya pendidikan yang disediakan negara pada negara berkembang menjadi alasan klasik rendahnya kemampuan pemerintah mendukung penyelenggaraan pendidikan yang memenuhi kebutuhan sekolah yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal inilah yang membedakan kualitas pendidikan pada negara berkembang dengan negara maju (Fangerlind, I dan Saha, L. J., 1983). Dunia pendidikan kita telah terpuruk. Pendidikan telah mendapat perhatian yang tinggi dari para birokrasi pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Tetapi perhatian itu hanya berbentuk sloganisme, secara faktual fasilitas dan sarana pendidikan memburuk, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan rendah yaitu hanya mampu memenuhi kebutuhan dan pangan tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak¬-anaknya dan kesehatan keluarganya. Jika hanya mengandalkan gaji dari guru, fasilitas pembelajaran tidak memadai, penerapan strategi belajar mengajar di kelas tidak memadai (monoton), dan kualitas lulusan seadanya saja tidak mempunyai daya saing yang memadai. Kekuasaan dan kewenangan merupakan produk dari kedudukan, dan birokrasi bagian dari kekuasaan. Kekuasaan, wewenang, dan monopoli birokrasi atas segala bidang kehidupan telah menciptakan kecenderungan intemal birokratik ke arah cara kerja yang terlalu kaku dan seringkali menciptakan pelaksanaan organisasi tidak efektif.

2. Elemen-Elemen Birokrasi Sekolah
Birokrasi menurut weber (1947) dicirikan oleh: (I) divisi pekerjaan dan alokasi tanggung jawab yang spesifik (2).adanya level hierarkhi otoritas; (3) adanya kebijakan. peraturan, dan regulasi tertulis; (4) impersonal )yaitu birokrasi ada pada lingkungan yang universal atau berlaku pada organisasi apaptur, dan (5) pengernbangan dan perpanjangan karier administratif. Kelima karakteristik birokrasi ini juga mencirikan birokasi dalam administrasi pendidikan baik dalam sistem pemerintahan maupun dalam sistem persekolahan sebagaimana dideskripsikan pada gambar 1.1.
Bagan tersebut menjelaskan bahwa sistem administrasi pendidikan ini khususnya pada pemerintah yang diperankan oleh Departemen pendidikan Nasional. pemerintah provinsi yang diperankan oleh Dinas Pendidikan Provinsi. pemerintah kabupaten/kota yang diperankan oleh Dinas pendidrkan Kabupaten/kota, serla satuan pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang menyelenggarakan program pembelajaran. {JILNo. zz tahun 1999 pasal 62 menyatakan cinas daerah adalah unsur pelaksana pemerintah daerah karena itu dinas pendidrkan adalah unsur pelaksana pemerintah daerah, dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat oleh kepara daerah dari pegawai Negeri Siprl yang memenuhi syarat atas usul sekretaris daerah. Sistem administrasi pendidikan pemerintahan pada kegiatannya dilaksanakan oleh para birokrasi pada tiap level  organisasi mulai dari pimpinan pucak sampai pada pejabat yang paling rendah. Apalagi kalau para pejabat tersebut berasal dari partai yang berbeda, apalagi tidak kompak sebab sifat paternalisme rakyat Indonesia relatif sangat tinggi sampai sekarang ini. Artinya, afiliasi politis mereka cenderung ''mengekor" pemimpinnya. Hal ini juga akan terjadi di lingkungan Departemen Pendidikan meski ada aturan seorang PNS tidak boleh bermain politik praktis.[13]
Khusus.pada sistem administrasi pendidikan di sekolah kegiatannya Dilaksanakan  fesional pendidikan  dibal koordinasi kepala sekolah seperti guru, konselor, arrri u*mrum, dan personal sekolah lainnya Sekotah merupakan institusi profesional dibidang kependidikan, sebagai organisasi profesional pada lembaga sekolah tidak ada jabaran struktural yang mengacu'pada sistem eselonering. Kepala sekotah sebagai pimpinan sekolah bukan jabatan struktural, tetapi salah satu anggota profesional kependidikan diberi tugas untuk memimpin dan melaksanakan sistem administrasi sekolah dengan fokus kegiatan pada pembelajaran.
Birokrasi Departemen Pendidikan Nasional atas nama pemenntah pusat mempunyai fugas pokok menetapkan dan mengelola standar pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam UUSPN No 20 rahun 2003 pasal 50 ayat 2 menyatakan pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Kebijakan standarisasi ini khususnya berkaitan dengan kurikulum dalam bentuk. Garis-garis besar program pengajaran (GBPP). ketenagaan yaitu menentukan persyaratan pendidikan dan pembinaan lanjutan untuk profesionarisme kependidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan. kelembagaan, mutu pendidikan melalui evaluasi harus melalui. sarana dan prasarana pendidikan yang dipersyaratkan uniuk pelaksanaan pembelajaran dan sebagainva.pendapat ini sesuai dengan pp No. 25 tahun 2000 pasal 2 ayat ll bidang pendidikan menyatakan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan menetapkan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya.


Unsur-unsur penting dalam pengelolaan pendidikan diberi tanggungjawab kepada pejabat birokrasi seperti Sekretaris Jenderal, Direktorat Jenderal- Direktur, dan pejabat struktural lainnya, semua pejabat birokrasi dan untuk membantu menentukan kebijakan dibantu oleh lembaga penelitian dan pengembangan Depdiknas. Mereka para pejabat birokrasi ini muara kebijakan dan sasaran kerjanya adarah satuan pendidikan dibawah tanggung jawab Menteri. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasar 50 ayat 1 menyatakan bahwa pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.
Birokrasi pada pemerintahan propinsi diperankan oleh Dinas Pendidikan propinsi. Sesuai dengan PP No. 25 tahun 2000 pasal 3 ayat l menyatakan bahwa kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota serta kewenangan dalam bidang tertentu, misalnya (l) penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masvarakat minoritas, terbelakang atau tidak mampu. (2) penyediaan bantuan pengadaan buku-buku taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan luar sekolah. (3) mendukung/ membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum akreditasi dan pengangkatan tenaga akademis. (4) pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, (5) penyelenggaraan di luar sekolah (balai pelatihan.
Birokrasi pada pemeriutah kabupaten/kota yang diperankan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai UU No. 22 tahun 1999 pasal ll ayat I menyatakan kewenangan daerah kabupaten den kota mencakup semua kewenangan pemerintah selain kewenangan yang dikecualikan. Dengan demikian jelaslah, bahwa satuan pendidikan sebagai suatu organisasi pendidikan memiliki ciri khas tersendiri yang diberi ruang kreatifitas dan inovasi atas kebutuhan perofesional dan pemberdayaan pendidikan.
Birokrasi memberikan keuntungan yaitu menciptakan keteraturan adminitrasi satuan pendidikan dan kerugian yaitu kekakuan dan struktur organisasi yang impersonal, juga cenderung terlalu memandang organisasi dengan  struktur yang rasional. Substansi birokrasi kedinasan antara Dinas Pendidikan provinsi dengan Kabupaten Kota harus melalui kepala daerah, namun hal-hal teknis dapat langsung kepada unit keria yang dimaksud. Paradigma birokratik ini menggambarkan mekanisme birokrasi tidak mempunyai garis koordinatif dan konsultatif sesuai kewenangan dan kekuasaannya, prakteknya hanya mengubah pendekatan bersifat hierarkis dari pusat ke daerah menjadi pendekatan dari kepala daerah, dinas pendidikan, selanjutnya ke sekolah dalam bentuk kedinasan. Keputusan oleh birokrasi yang bertele-tele akan banyak menyerap waktu, sedangkan tanggung .jawab tidak pernah secara jelas
Satuan penriidikan ditempatkan sebagai unit pelaksana teknis pemerintah daerah yang harus tunduk dan patuh pada birokrasi pemerintah dengan alasan sesuai aturan dan disiplin pengawai negeri sipil dan patuh pada satuan pendidikan yang ditunfut para birokrasi ini, menghilangkan sifat eksistensi sekolah sebagai institusi profesional kependidikan. sebagai institusi profesional sekolah memiliki personil yang menduduki jabatan profesi yaitu guru dan konselor. Tetapi karena perlakuan terhadap mereka adalah perlakuan birokratik, maka eksistensi profesional mereka dibawa pada paradigma birokratik, sehingga dalam melakukan pelayanan belajar pun terkesan dalam suasana birokratik.

3. Kepala Sekolah sebagai Birokrasi
Sampai saat ini peranan Kepala sekolah masih menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Seringkali kepala sekolah lebih melayani keinginan Kepala Dinas sebagai atasannya agar proyek sekolahnya lancar. "Kepala sekolah lebih melayani atasannya daripada kesejahteraan guru..  Seringkali pengangkatan kepala sekolah tak lepas dari unsur kedekatan daripada profesionalitas. Kedekatan juga perlu agar dana BOS dan  . Kondisi ini tentu lah harus diubah.   Melalui demokrasi di sekolah inilah, mampu memangkas dominasi kepala sekolah dan memperkuat dewan guru dan Komite Sekolah. Akan tetapi kadang guru jadi apatis karena penilaian guru oleh Dinas Pendidikan juga tak lepas dari kepala sekolah sebagai mata-mata Kepala Dinas.
Maka untuk menciptakan Manajemen Berbasis Sekolah yang seutuhnya, peran pemerintah harus dikikis seminimal mungkin. Justru peran masyarakat jauh di perbesar. Kita lihat di daerah-daerah dengan peran masyarakat, sekolah jadi jauh lebih baik, Kemudian pengangkatan Kepala Sekolah juga harus dipertimbangkan dengan asa profesionalitas dengan persyaratan ketat. "Manajemen Berbasis Sekolah menurut saya perlu dilanjutkan akan tetapi akan lebih baik jika kepala sekolah bukan kepanjangan birokrasi pendidikan, Sekolah harus dihentikan sebagai mesin ATM birokrasi..
Kepala sekolah di hadapan birokrasi pemerintahan seperti birokrasi Dinas Pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota, birokrasi ini tidak banyak memberi dorongan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendekatan yang dilakukan pendekatan birokrasi antara bawahan dan atasan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan para birokrat pendidikan pada pemerintah daerah tersebut menempatkan diri sebagai atasan yang dipandang dapat mengambil kebijakan yang mengancam posisi kepala sekolah. Kepala sekolah dapat saja diusulkan oleh kepala dinas kepada bupati/walikota untuk diganti dalam waktu-waktu yang mengejutkan kepala sekolah. Kondisi demikian menjadikan kepala sekolah pada posisi yang gamang, tidak dapat melaksanakan tugas dengan optimal, tidak ada jaminan programnya menjadi perhatian memadai dinas pendidikan maupun pemerintah daerah di mana sekolah itu berada. Birokrasi tersebut cenderung memperlakukan kepala sekolah hanya sebagai unit kerja mereka, bukan dipandang sebagai pemimpin institusi profesional kependidikan yang memiliki otonomi atas dasar profesional tersebut.
Perlakuan birokrasi terhadap kepala sekolah tentu saja berkontribusi positif terhadap rendahnya mutu dan martabai pendidikan, bahkan menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Perilaku birokrat yang sangat mempersempit ruang profesional kepala sekolah dan para guru serta tenaga kependidikan lainnya yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pembelajaran. Meskipun demikian, tentu saja ada birokrat pendidikan dan kepala dinas pendidikan yang visioner dan memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan pendidikan dan juga memperhatikan serta mempertahankan kepala sekolah yang menunjukkan kinerja yang berkualitas. Tetapi kita tidak dapat menunjukkan seberapa banyak birokrat pendidikan dan kepala dinas yang visioner.

4. Kebijakan Sekolah
Keberadaan sekolah sebgai lembaga formal penyelenggaraan pendidikan memainkan peran strategi dalam keberhasilan system pendidikan nasional. Kepala sekolah sebagai manajer pemimpin adalah bertanggung jawab dalam menerjemahkan dan melaksanakan kebijakan pendidikan nasional yang ditetapkan pemerintah. Untuk mencapai peningkatan mutu sekolah, kepala sekolah sebagai petugas professional dituntut untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi kebijakan pendidikan. Kebijakan sekolah termasuk dalam spektrum kebijakan pendidikan[14]. Kebijakan sekolah merupakan turunan dari kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan[15].
Desentralisasi pendidikan memberikan peluang bagi kebijakan sekolah di daerah. Pembuatan kebijakan sekolah adalah inherent dengan otonomi kepala sekolah. Implementasi kebijakan merupakan tahap kedua setelah pembuatan atau pengembangan kebijakan. Kepala sekolah memiliki kewenangan dalam menerjemahkan kebijakan dari pimpinan lebih tinggi sesuai dengan visi, misi dan sasaran sekolah yang mengacu kepada sumber daya di dalam dan di luar sekolah.
Kebijakan yang dibuat sekolah tidak hanya sekedar menjadi arah bagi tindakan operasional sekolah yang bernilai strategi, tetapi juga memperkuat komitmen tugs, kerja sama, akuntabilitas, bahkan pemberdayaan staf. Manfaat kebijakan sekolah adalah kerja sama dan keputusan oleh individu atau keinginan kelompok dengan kewenangan yang sah oleh dewan sekolah, pengawas, administrator sekolah tanggung jawab bagi kontrak negosiasi[16]. Bila kebijakan dipahami dengan baik, semua orang dapat bekerja dengan efisien, memiliki kepuasan dan penuh komitmen.
Perubahan Sentralisasi menjadi desentralisasi pendidikan akan menuntut perubahan standar sertifikasi baik kurikulum maupun guru, termasuk yang akan menilai karya tulis dan naik pangkat seorang staf pengajar. Pengelolaan PendidikanDasar, Pendidikan Menengah, Pendidikan Tinggi, Pelatihan guru dan lain sebagainya yang dapat menjamin kualitas pengelolaan dan kualitas output hal inni merupakan isu nyat yang harus dianalisis berdasarkan aspek tujuan., aspek dampak kebijakan , aspek pelaksanaan kebijakan.[17] Kebijakan dimulai dari sejumlah permasalahan didefenisikan,kemudian dicari alternatif sebagai solusi dan dilakukan seleksi untuk diimplemetasikan, seperti yang tergambar di gambar 1.2







5. Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis kebijakan perlu dibahas karena sering tidak terdapat kesepakatn umum mengenai nilai-nilai sisoal, kecuali pada hal-hal tertentu, terkadang pembuat kebijakan cenderung memaksimalkan nilai-nilai mereka dan tidak tertarik untuk bergeser dari landasan nilai, serta komitmen dari sumber kebijaksanaan dan program yang ada menghalangi pembuat kebijaksanaan dari usaha mempertimbangkan alternative-alternatif baru.
Metodologi analisis kebijakan menurut Thomas R. Dye dalam Syaiful Sagala mengatakan bahwa kebijakan diambil dan memadukan elemen-elemen berbagai disiplin ilmu seperti politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat, dan sebagainya[18]. Analisis kebijakan juga bersifat normative dan menciptakan atau melakukan kritik terhadap klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan public untuk generasi masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
Kompleksitas proses pembentukan dan implementasi kebijakan memberi jaminan bahwa kondisi yang perlu dan memadai untuk timbulnya kepastian tentang kalim pengetahuan jarang dapat dipastikan. Artinya penentuan kebijakan sulit untuk memberi kepastian, tetapi dapat memberi kepuasan berbagai pihak, karena dapat mengeliminasikan kelemahan kebijakan. Karena itu perlu membedakan antara metodologi, metode dan tekhnik dalam melakukan analisis kebijakan pendidikan dengan menentukan lebih dahulu aspek-aspek penting yang tidak boleh diabaikan dalam penyelenggaraan pendidikan dengan menggabungkan standar, aturan, dan prosedur. Tetapi aturan dan prosedur ini jangan dijadikan pembenaran memenuhi kehendak pribadi para pengambil kebijakan, sehingga mengabaikan apa yang sebenarnya dibutuhkan publik.



6. Sistem Pendidikan
Pendidikan berlangsung disegala jenis, bentuk dan tingkat lingkungan hidup yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada dalam diri individu. Dengan kegiatan pembelajaran seperti itu, individu mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas dan matang. Jadi singkatnya, pendidikan merupakan system proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan dan pematangan diri. Pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja dan kapan saja dan dimana saja, karena menjadi dewasa, cerdas dan matang adalah hak asasi manusia pada umumnya.pelaku pendidikan adalah keluarga, masyarakat, dan sekolah (dibawah otoritas pemerintah) dalam suatu sistem integral yang disebut tripartite pendidikan. Fungsi dan peran tripartit pendidikan adalah menjembatani pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat luas. Tujuannya, agar aspirasi pendidikan yang tumbuh dari setiap keluarga dapat dikembangkan didalam kegiatan pendidikan sekolah. Secara sederhana sistem pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu keseluruhan yang terbentuk dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan internasional dalam mengubah masukan menjadi hasil yang diharapkan[19].  Sedangkan pendekatan sistem adalah cara-cara berfikir dan bekerja yang menggunakan konsep-konsep teori sistem yang relevan dalam memecahkan masalah[20].
Sejalan dengan hal itu, kehidupan bangsa merupakan lingkungan pendidikan dan supra sistem dan sistem pendidikan yang bekerja bersama-sama dengan system lainnya (misalnya ekonomi, politik, agama, dan sebagainya) dalam rangka mencapai tujuan nasional. Pendidikan sebagai sistem digambarkan dalam bentuk model pada gambar 1.2 dasar input-output dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat internasional dan juga nasional.


Hal yang sangat.mempengaruhi input-output pendidikan tersebut adalah sistem sosial budaya, ekonomi, hukurL politih dan sebagainya baik yang berkaitan dengan masukan dan hasil pendidikan yang diproses dalam satu sistem pendidikan untuk tujuan pendidikan, nasional Oleh, karena itu masukan pendidikan diproses dalam suatr sistem pendidikan terikat pada suatu sistem llngkungan karenanya dalam manajemen pemerintahan lndonesia sistem pendidikan harus mengandung nilai lingkungan sebagai karakteristik budaya Indonesia. Hasil pendidikan sebagai produk dari suatu sistem pendidikan membutuhkan informasi yang  terkait pada suatu  sistem baik berupa  supra system yaitu system   yang lebih besar maupun sistem itu sendiri (gambar 12)  menerima input dan mengeluarkan output khususnya bagi sistem terbuka. Input dimaknai sebagai masukan untuk sebuah sistem yang disesuaikan dengan sistem yang ada. Kemudian output dimaknai beberapa masukan diproses dan menghasilkan suatu yang mempunyai klasifikasi atau yang diharapkan sebagai output terbaik[21].



Struktur bagian-bagian dari model input-ouput pendidikan tersebut menggambarkan bagran-bagran yang bersifat lentur dan bentuk operasinya dinamis, karena bagian- bagian dalam sistem dapat berubah karakteristik dan posisinya. Segala sesuatu yang masuk dalam sistem dan berperanan dalam proses pendidikan disebut masukan pendidikan. Lingkungan pendidikan baik internal maupun eksternal menjadi sumber masukan pendidikan.
Dengan demikian bentuk masukan dalam pendidikan dalam system pendidikan dapat berupa informasi atau keterangan mengenai pendidikan (pengetahuan, nilai-nilai, dan cita-cita), tenaga (penduduk dan tenaga kerja), barang (sarana pendidikan dan perlengkapan), hal-hal yang terdapat dalam lingkungan tidak semuanya dan dengan sendirinya dapat menjadi masukan pendidikan. Pengambilan masukan pendidikan melalui proses pemilikan yang didasarkan pada kiteria tertentu, misarnya tidak segala macam pengetahuan yang ada dalam masyarakat dapat menjadi bahan ajaran. Tidak sernua penduduk dengan sendirinya menjadi siswa atau guru. Tidak semua hasil produksi dalam negeri menjadi sarana pendidikan, dan tidak semua uang yang ada didalam masyarakat dapat meqiadi sarana pendidikan.

7. Proses Pendidikan dalam Sistem Pendidikan
 Proses adalah sebuah perubahan dalam suatu objek atau organisme, khususnya suatu perubahan tingkah laku atau perubahan psikologis . Kegiatan mengubah input menjadi output adalah proses, yaitu dengan memproses siswa sebagai input yang diterima dalam suatu lembaga atau satuan pendidikan, dan lulusan menjadi output pendidikan. Tetapi prosesnya tidak sederhana karena berkaitan dengan pembelajaran, kurikulum, tenaga kependidikan yang profesional, fasilitas, anggaran, dan sebagainya apalagi dihubungkan dengan kualitas lulusan atau sering disebut lulusan pendidikan, meski mutu pendidikan itu sukar sekali dirumuskan, permasalahan proses pendidikan yang demikian itu rumit dan kompleks, oleh karena itu pengelolaan pendidikan besar sekali dipengaruhi oleh proses pendidikan dimana pendidikan itu berlangsung.
Proses pendidikan berdarnpak pada kualitas yang diperoleh dimana kualitas tersebut sulit diukur sebagaimana Gaffar {1987) tnengatakarr bahwa kualitas pendidikan amat sulit diberi batasan, karena kualitas adalah derajat mutu atas dasar standar tertentu. Maka persoalan kualitas amat rumit dan kompleks. bukan hanya konsep kualitas itu amat relatif tetapi factor nya juga terkait begrtu kompleks dan tidak sederhana. Dalam proses pendidikan hubungan timbal balik antara pendidik dengan anak didik berkelanjutan ke arah tujuan yang herrdak diwujudkan bersama yaitu tujuan pendidikan atau tujuan proses belajar mengajar dengan hasil yang berkualitas[22]. Proses sebagai langkah-langkah menggambarkan skema penentuan kegiatan, artinya seluruh manajer pendidikan harus mengetahui, merumuskan, dan menspesifi kasikan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan institusi pendidikan dengan menyusun daftar kegiatan yang akan dilakukan. Jika ditinjau dari psikologi sosial proses pendidikan menunjukkan bahwa pendidik berfungsi sebagai komunikator dan anak didik sebagai komunikan yang menerima pesan-pesan (massage) dari komunikator.
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dan nondepartemen.Kelima,Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan khusus yang mempersiapkan peserta didik dalam melaksanakan peranan yang khusus dalam pengetahuan ajaran agama, yang terdiri dari tingkat pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.[23] Disamping itu juga pendidik berfungsi sebagai inovator (pembaharu) sedang anak didik berada dalam posisi sasaran ide pembaharuan itu. Fungsi lainnya dalam proses pendidikan adalah pendidik sebagai emansipator yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada anak didik untuk mengembangkan bakat, minat dan perhatiannya dalam proses belajar mengajar, sehingga ia mampu melakukan penjelajahan (eksplorasi) terhadap lingkungan sekitarnya. Beeby (1937) mengemukakan dalam hal proses pendidikan guruguru seringkali mengeluh bahwa mereka tidak mendapat cukup bimbingan profesional dan tak seorang pun yang dapat mengkritik cara mengajar mereka dan menolong mereka untuk memperbaikinya, padahal banyak cara yang dapat ditempuh untuk mendorong terjadinya pembaharuan disetiap bagian sekolah yang dipimpinnya. Dalam proses administrasi sekolah guru membutuhkan bimbingan yang kuat, karena mereka merupakan tenaga penggerak pembaharuan yang mengerti akan tujuan pendidikan melalui pfoses pembelaj aran. Kemampuan kepala sekolah memperkenalkan teknik-teknik yang harus dijalankan menempatkan guru pada posisi yang berguna dalam mencapai tujuan pendidikan. Inti dari proses pendidikan adalah apa sesunggunya  yang terjadi di ruang keles. teilpat belajar lainnya. dan harus aktivitas yang  melingkupi sekitanya
Jika proses dari kegiatan-kegiatan pendidikan tersebut dilakukan dengan baik dan berdasarkan prosedur yang ikniah atau objektif, maka kegiatan-kegiatan yang disusun dengan baih efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan pembelajaran di sekolah.sekolah dalam mencapai tujuannya. Disamping itu proses pengelolaan pendidikan memang membutuhkan biaya yang mahal digunakan untuk keperluan gedung, peralatan, pemeliharaan, pengadaan, pengembangan dan pengayaan kurikulum, pertumbuhan jabatan guru, bahan dan buku ajar, administrasi dalam arti sempit maupun luas, tata usaha, dan semua yang menyangkut manajerial pendidikan pada pemerintahan maupun sekolah. Kemampuan para pimpinan pendidikan memanage biaya pendidikan dengan menempatkan pos pembiayaan sesuai kebutuhan amatlah diperlukan, agar efisiensi dan efektifitas pengelolaan dapat tercapai. Penambahan anggaran tanpa menghasilkan perbaikan dalam mengajar maupun belajar hanya berarti pemborosan (Beeby, 1987). Efrsiensi dan efektifitas proses kerja pendidikan yang diharapkan adalah lancar dan menyenangkan agar mencapai prestasi yang bermutu dan kompetitif













BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN

Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Kata tersebut diserap kedalam perbendaharan istilahbahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi “evaluasi’’ berarti “penilaian” merupakan kata benda dari “nilai”. Sedangkan supervisi adalah Supervisi berasal dari kata “super” artinya lebih atau atas, dan “vision” artinya melihat atau meninjau. Seara etimologis supervisi artinya melihat atau meninjau yang dilakukan oleh atasan terhadap pelaksanaan kegiatan bawahannya.
Adapun bentuk birokrasi pendidikan di Indonesia bercirikan adanya penentuan kebijakan yang terpusat, perlakuan yang sama bagi setiap pegawai, kontrol yang terpusat, keterbatasan bagi  unit pelaksana teknis dilembaga pendidikan untuk melaksanakan kebijakan, dan profesionalisme dalam tugas.
Kebijakan adalah terjemahan dari kata “wisdom” yaitu suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan pada seseorang atau kelompok orang tersebut tidak dapat dan tidak mungkin memenuhi aturan yang umum tadi,dengan kata lain ia dapat perecualian (Imron,1996:17).. Berkaitan dengan sistem pendidikan nasional menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 satuan pendidikan adalah kelompok layanan formal, non formal dan informal.
B.  SARAN
Penulis menyadari dalam penulisan makalah tentu masih banyak terdapat kesalahan dan kekhilafan baik dari segi penulisan maupun kalimat yang tidak semestinya, oleh karena harapan penulis kritik dan saran yang membangun saran penulis butuhkan untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Dasim Budimansyah, Pembelajaran Pendidikan Kesadaran Berkonstitiusi, (Bandung: PT.Genesindo, 2010).
Diat Prasojo, Lantip dan Sudiyono, Supervisi Pendidikan (Yogyakarta: Gava Media, 2011) 

Hikmat, Manajemen Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2009) 

Martinis yamin dan Maisah, Standarisasi Kinerja Guru (Jakarta : Gaung Persada Press, Cet. I, 2010).

Mukhtar dan Iskandar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan (Jakarta : Gaung Persada Press, Cet. I,  2009).
Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, cet. 20, 2010).
Ratal Wirjasantosa, Ratal. Supervisi Pendidikan Olah Raga. (Jakarta: UI-Press, 2006)

Sergiovanni, Thomas J. and Robert J. Starratt. Supervison: A Redefinition. (New York: McGraw-Hill Companies Inc., 2006)

Sri Rejeki Merdekawaty, Mengenal Peraturan daerah, Jakarta Timur: PT. Wadah Ilmu. 2011)
Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, (Bandung: Alfabeta, 2009).

Syaiful Sagala, Memahami Organisasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010)




[1]  Sri Rejeki Merdekawaty, Mengenal Peraturan daerah, (Jakarta Timur: PT. Wadah Ilmu. 2011), hal. 5
[2]Hikmat, Manajemen Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 298 
[3]Lantip Diat Prasojo dan Sudiyono, Supervisi Pendidikan (Yogyakarta: Gava Media, 2011), hlm. 11 
[4]Syaiful Sagala, Memahami Organisasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 201  

[5]Lantip Diat Prasojo dan Sudiyono, Supervisi Pendidikan (Yogyakarta: Gava Media, 2011), hlm. 30
[6]Ratal Wirjasantosa, Ratal. Supervisi Pendidikan Olah Raga. (Jakarta: UI-Press, 2006, hlm. 56
[7]Sergiovanni, Thomas J. and Robert J. Starratt. Supervison: A Redefinition. (New
York: McGraw-Hill Companies Inc., 2006), hlm. 34
[8] Mukhtar dan Iskandar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan (Jakarta : Gaung Persada Press, Cet. I,  2009), hal. 227
[9] [9]Syaiful Sagala, Memahami Organisasi Pendidikan


[10]Mukhtar dan Iskandar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hlm. 27 
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]  Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, cet. 20, 2010) hal. 32
[14] Martinis Yamin dan Maisah, Standarisasi Kinerja Guru, ( Jakarta : Gaung Persada, 2010) Hal 68
[15] Ibid
[16] Martinis Yamin dan Maisah, Standarisasi Kinerja Guru,  Hal 69
[17] Sri Rejeki Merdekawaty, Mengenal Peraturan daerah, (Jakarta Timur: PT. Wadah Ilmu. 2011), hal. 3
[18] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer,(Bandung: Alfabeta, 2009). Hal 109
[19] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer,Hal 9
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23]  Dasim Budimansyah, Pembelajaran Pendidikan Kesadaran Berkonstitiusi, (Bandung: PT.Genesindo, 2010), hal.31